Assalamu’alaikum, Wr. Wb., Ustadz,
Saya mau bertanya beberapa hal :
- Apa beda mushalla dengan masjid? Dan apakah jaman Nabi Muhammad SAW ada mushalla?
- Mana yang kita dahulukan shalat di mushalla komplek perumahaan saya tempat tinggal atau mesjid yang ada di simpang komplek perumahaan saya (jarak mushala dengan rumah saya lebih kurang 150 meter dan jarak masjid dengan rumah saya lebih kurang 500 meter).
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami minta arahaannya sesuai dalil yang ada. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalam. Deni Okta
Wa’alaikum salam wr.wb.
Untuk pertanyaan antum, dapat dibagi dalam dua pembahasan berikut.
Pertama, secara definisi masjid bermakna tempat sujud, dan secara makna syari’at adalah tempat dilaksanakan shalat. Dalam istilah fikih masjid dimaknai tempat dilaksanakannya shalat fardhu secara berjamaah lima kali dalam sehari. Sedangkan masjid jami’ (masjid agung dalam bahasa Indonesia) adalah tempat dilaksanakannya shalat fardhu secara berjamaah lima kali dalam sehari dan yang dilaksanakan untuk shalat jum’at. Dalam istilah lain masjid jami’ disebut masjid yang ada mimbar, maksudnya yang digunakan untuk shalat jum’at.
Sementara mushalla secara bahasa adalah berarti tempat shalat. Dalam istilah fikih, mushala didefinisikan sebagai lapangan tempat ditunaikan shalat ied dan sejenisnya secara berjamaah. Seperti tergambar dalam hadits Nabi, “Siapa yang diberi kelapangan rezeki, dan tidak berqurban, maka dilarang mendekati mdushala kami (yaitu lapangan tempat dilaksanakan shalat ied).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Oleh karena itu, dapat kita ambil kesimpulan, mushala, atau langgar, tajug adalah masjid jika di dalamnya dilaksanakan shalat fardhu secara berjamaah. Di negara-negara Arab, untuk menyebut mushala (dalam bahasa kita) selain masjid, juga disebut zawiyah. Karena itu shalat di mushala bernilai pahala layaknya shalat di masjid.
Pada masa Nabi saw, istilah mushala juga digunakan untuk tempat shalat yang berada di bagian rumah. Atau pada masa sekarang bisa di kantor, toko, atau ruangan yang kita jadikan tempat shalat, dan juga berfungsi untuk yang lain dan tidak untuk rutinitas shalat berjamaah untuk khalayak umum. Sebagaimana disebutkan bahwa Rasul saw sering melaksanakan shalat sunnah di rumahnya, sedangkan shalat fardhu di dalam masjid. Tempat shalat beliau di dalam rumah dapat disebut mushala. Demikian pula dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Itban bin Malik ra pernah meminta Rasul saw shalat di salah satu sudut rumahnya.
Kedua, mengenai keutamaannya, tentu shalat berjamaah baik di mushala (masjid) atau di masjid agung (masjid jami’) sama bernilai utama dalam pandangan Allah SWT. Namun bila dipandang mana yang lebih utama, dan mana yang lebih dipilih, antara masjid yang lebih jauh atau mushala yang lebih dekat tentu nilainya adalah sama. Karena yang utama hanya tiga masjid, sebagaiaman yang disebutkan dalam hadits, “Shalat di masjidil haram (Mekkah) setara dengan 100.000 shalat di masjid lainnya, shalat di masjidku (Nabawi) setara 1.000 shalat di masjid lainnya, dan shalat di baitil maqdis (al-Aqsha) senilai 500 kali lipat shalat di masjid lainnya.” (HR. al-Baihaqi)
Memang ada hadits di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, bahwa shalat berjamaah menjadi lebih dicintai Allah SWT jika semakin banyak jumlah jamaahnya. Karena itu ada yang memilih shalat berjamaah di masjid (karena biasanya jamaah lebih banyak), namun menjadi masalah jika mengakibatkanpembiaran mushala di dekat rumah kosong dan tak terurus. Oleh sebab itu perlu diperhatikan bahwa menghidupkan mushala yang ada di sekitar kita adalah menjadi tanggungjawab orang-orang di sekitarnya.
Karena itu, lebih baik kita menghidupkan shalat berjamaah di mushala (masjid) yang terdekat dengan rumah kita dan memakmurkannya. Dan terus memotivasi agar lebih banyak jamaah yang shalat berjamaah di mushala. Karena orang-orang yang terdekat lebih bertanggungjawab memakmurkannya. Semoga pahala memakmurkan menjadi tambahan dari nilai pahala shalat jamaah di masjid dan poin ketakwaan di sisi Allah swt. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah : 18)
Wallahu’alam.
Sumber: www.islampos.com
0 coment�rios:
Posting Komentar